Darwis adalah putra seorang tentara. Ia sosok yang berpengaruh di tengah-tengah mantan kombatan dan Partai Aceh. _________________________
MATANYA menerawang. Menatap langit-langit rumah kontrakannya. Perlahan dia mengembuskan asap rokok keretek kesukaannya. Setelah membetulkan posisi duduknya di sofa, dia menyesap segelas mineral. Sejenak mulutnya terkatup. Lalu, ia menghela nafas.
“Saya berharap pada Pemerintahan Aceh yang dipimpin Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf dapat membangun Aceh dan mensejahterakan rakyat,” lelaki itu mulai bicara sambil menatap tajam ke arah wartawan The Atjeh Times yang menemuinya di Keutapang, Banda Aceh, Rabu pekan lalu. “Pemimpin yang membawa keadilan.”
Kalimat itu menjadi tak biasa sebab datangnya dari seorang pria yang cukup dihormati di Aceh ini. Dialah Darwis Djeunib, mantan Panglima GAM Wilayah Batee Iliek yang kini adalah Ketua Partai Aceh Kabupaten Bireuen merangkap Ketua Komite Peralihan Aceh Wilayah Batee Iliek.
Darwis menjadi salah satu titik sentral kemenangan tokoh mantan Gerakan Aceh Merdeka, Zaini-Muzakir (mantan Panglima GAM) yang diusung Partai Aceh pada pilkada 2012 yang lalu. Dia berhasil membawa kemenangan bagi Zaini-Muzakir di Bireuen.
Tentu ini menjadi catatan penting sebab Bireuen adalah kantong suara rival mereka, Irwandi Yusuf, mantan Gubernur Aceh yang memang berkampung halaman di situ. Di sini menjadi tempat perebutan suara yang panas. Darwis sendiri tinggal di Djeunib yang berjarak sekitar 20 menit perjalanan dari Bireuen.
Tak hanya itu, Darwis juga yang berperan memenangkan pemilihan Bupati Bireuen, Ruslan M. Daud, dari Partai Aceh. “Selain Zaini-Muzakir, hampir seluruh Aceh kini bupati dan wali kota dari Partai Aceh, begitu juga di parlemen,” katanya. “Saya hanya berharap mereka menjalankan amanah perjuangan, yaitu untuk membuat Aceh makmur dan sejahtera serta berkeadilan. Pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi.”
***
“SAYA lahir di Bireuen, di batalion Gampong Baro, Bireuen, pada 1 Januari 1960. Dulu ayah saya tentara. Jadi, saya lahir di asrama,” kata Darwis mengenang masa kecilnya yang ternyata adalah anak kolong (sebutan dalam bahasa sehari-hari untuk anak tentara atau anak yang besar di tangsi tentara). Dia anak ketiga dari enam bersaudara, putra dari pasangan Abdullah dan Nurul Abdullah. “Ibu saya dua. Jadi, saya anak pertama dari istri kedua ayah saya, tapi anak ketiga dari semua anak-anak ayah saya,” katanya.
Memasuki sekolah dasar, Darwis diboyong orang tuanya ke Jeunib. Sejak kecil, dia sudah hobi dengan olahraga bela diri. Dia mempelajari silat, tinju, dan karate. Selain itu dia juga suka voli, badminton, dan bola kaki. Hingga beranjak remaja, dia suka berada di pasar. “Sampai saya menjadi harland,” katanya. Harland adalah sebutan untuk jagoan terminal dan pasar di perkampungan Aceh.
Pada 1980, Darwis merantau ke Medan, Sumatera Utara. Di sana dia bertemu dengan seorang polisi dari Panton Labu yang bertugas di Medan. “Kiban cara ta-udep di Medan (bagaimana caranya hidup di Medan),” Darwis bertanya kepada polisi yang akrab disapa Intel Wahab itu.
“Di sino yang peurlèe kreuh boh sôh. Nyoe hana lagèe nyan, ka jeut wo u gampông jak gulam cangkôi jak u blang (di sini yang penting tinju harus keras, jika tidak ya pulang kampung saja pegang cangkul ke sawah),” begitu jawabnya.
Rupanya, Darwis sangat sadar bahwa hidup merantau itu memang keras. Ketika Wahab menyuruhnya menghadapi seorang pimpinan geng di sebuah bioskop di Sambu, Medan, Darwis langsung mengangguk.
Lalu, dia pun menuju ke bioskop itu, dan menantang si bos geng berduel. Bertarung satu lawan satu. Bak.. buk, plak..plak, tinju dan tendangan melayang-layang, disaksikan Wahab dan anak buah bos geng Sambu itu. “Rupanya dia jago karate. Kami duel memakan waktu sampai 20 menit,” katanya.
Hingga kemudian kaki si bos geng itu tersangkut di sepeda motor yang parkir di situ. “Saya hajar terus sampai dia menyerah,” kata Darwis. Sejak itu, pimpinan geng beralih ke tangan Darwis, termasuk memimpin 30 anak buah di kawasan itu. “Sekitar tujuh bulan saya memimpin geng di situ. Setelah ada sedikit rezeki, saya berangkat ke Malaysia,” katanya.
Di Malaysia pada 1981, dia sempat masuk ke kawasan geng yang diramaikan dengan perjudian. Para penjudi di sana sempat ketakutan sebab mengira Darwis seorang polisi yang hendak menangkap mereka. “Padahal, saya juga pendatang gelap waktu itu,” katanya. Namun, Darwis tak betah berada di kelompok geng lagi. “Secara hati, saya nggak cocok dengan perbuatan seperti itu,” katanya.
Darwis menemukan jati dirinya setelah membaca buku-buku sejarah Aceh dan ideologi Gerakan Aceh Merdeka. Saat membaca-baca buku itu, kata Darwis, dia berdoa, “Meunyoe lôn aneuk ma aneuk yah, beu rôh lôn dalam perjuangan nyoe. Lôn jak mita kemuliaan bangsa Aceh (jika saya memang anak ibu dan anak ayah, saya akan masuk dalam perjuangan ini. Saya mencari kemuliaan untuk bangsa Aceh).”
Setelah yakin, dia menghubungi ayahnya tentang jalan hidup yang ditempuhnya. “Jangan mundur selangkah pun untuk perjuangan rakyat Aceh,” begitulah pesan dari ayahnya, Abdullah, yang sampai kini masih diingatnya.
Itulah sebabnya, ketika pemuda-pemuda Aceh direkrut untuk berlatih militer di Lybia pada 1986, Darwis ikut serta. Salah satu pelatihnya ketika itu adalah Muzakir Manaf yang akrab disapa Mualem. “Mualem angkatan pertama. Saat itu beberapa orang dari angkatan Mualem jadi pendamping kami. Karena Mualem yang angkatan pertama, jadi lebih mengerti untuk mendidik kami,” kata Darwis.
Di sini dia mulai belajar lebih dalam soal GAM, termasuk dari Wali Nanggroe Hasan Tiro dan Meuntroe Malik Mahmud. “Setahun saya di Libya,” katanya.
***
PERINTAH datang dari Malik Mahmud. Terang saja Darwis langsung berlayar menuju Aceh. Itu pada 1989. Mulanya Darwis berada di Langsa. Dia merangkul sejumlah orang untuk ikut ke dalam GAM. Di antaranya ada seorang polisi, Rahmad Azami berpangkat kapten, juga ada Ahmad Saidi seorang intel polisi. “Ada juga Koramil Suman dan seorang pejabat di Dinas Pekerjaan Umum di Langsa,” kata Darwis.
Setahun berselang, kabar kegiatan Darwis di Langsa sampai juga ke Panglima GAM Wilayah Batee Iliek, Hamzah. “Sepucuk surat dari Panglima Hamzah meminta saya pulang ke Jeunib,” katanya. Tiba di Jeunib, Darwis diberi jabatan Komandan Operasi Wilayah Batee Iliek. Akhir 1990, setelah Hamzah wafat, “Saya dipanggil Panglima GAM Abdullah Syafii, lalu mengangkat saya jadi Panglima Wilayah Batee Iliek,” kata Darwis.
Selama naik turun gunung, Darwis mengalami banyak peristiwa, termasuk soal hatinya yang tertambat pada Wardani yang kemudian dinikahinya. Satu peristiwa yang sangat membekas dalam ingatan Darwis adalah tentang anaknya yang meninggal saat konflik berlangsung. “Waktu itu anak saya yang lahir di Pasi Lhok masih berumur 25 hari. Situasi memanas dan saya naik ke gunung di Tiro. Anak saya dilarikan ke tempat kerabat saya dan meninggal,” katanya.
Sang istri selalu mengikuti suaminya ke berbagai tempat. Ketika Darwis dipanggil ke Malaysia untuk menyusun gerakan, istrinya juga ikut serta. “Saat itu saya keluar membawa rombongan 15 orang,” katanya. Di Malaysia, mereka mencari suaka politik. “Tapi malah kami dimasukkan dalam penjara, termasuk istri saya. Kami ditahan selama 4 tahun 15 hari,” kata Darwis.
Setelah bebas, pasangan suami istri ini kembali ke Aceh dan bergerilya lagi. “Kalau membayangkannya sekarang, tentu sangat capek. Kadang tahan lapar. Meskipun lapar, tapi tenaga selalu ada berkat Allah, demi mempertahankan kedaulatan dan marwah orang Aceh,” katanya. “Kadang-kadang untuk makanan terpaksa harus makan gue-gue jôk, boh katendeng, dapat pohon-pohon bayah kami ambil gue-nya buat makan. Ada juga kawan-kawan yang terkena peluru di depan mata.”
Masa bergerilya itu, Darwis sangat akrab berhubungan dengan masyarakat. Dia juga menjalin hubungan dengan mahasiswa. “Di antaranya yang selalu bersama saya adalah Kautsar,” kata Darwis. Kautsar waktu itu adalah aktivis mahasiswa. Saat ini dia berpolitik di Partai Aceh yang juga menjadi Sekretaris Pemenangan Zaini-Muzakir pada pilkada 2012.
“Waktu itu, saya meminta Kautsar untuk menjalankan tugas-tugas di luar saja, dan mengirimnya ke Malaysia untuk menjalin hubungan di sana, dan selalu melaporkan perkembangannya kepada saya,” kata Darwis. Selain itu, Darwis adalah tokoh GAM yang rajin membina hubungan dengan wartawan. Dia kerap diwawancarai dan menerima wartawan di lokasi bergerilya.
Menjelang proses perdamaian, Darwis dan anak buahnya tetap berada di pegunungan. “Kami menunggu arahan. Saya sering berteleponan dengan Meuntroe Malik,” katanya. Setelah Pemerintah RI dan GAM sepakat berdamai pada 2006, Darwis dan anak buahnya pun turun gunung. Mereka kembali hidup di tengah-tengah masyarakat.
“Alhamdulillah, perdamaian itu datang juga. Kini banyak keistimewaan bagi Aceh. Dan tujuan rakyat Aceh menginginkan perdamaian dan kesejahteraan juga. Tinggal bagaimana cara kita mengisinya,” kata Darwis.
***
DI RUMAH kontrakannya di Keutapang, kini Darwis menjalani kesehariannya. Dia kini mengurus Partai Aceh dan juga KPA. Kendati akrab dengan dunia politik, Darwis tak ikut dalam politik praktis.
“Kegiatan sehari-hari saya sekarang termasuk mengontrol Partai Aceh, anak-anak buah saya yang mantan GAM di lapangan, dan tentu juga keluarga saya,” katanya. Darwis kini adalah ayah dari enam anak, tiga di antaranya sudah meninggal.
Pada Pemerintah Aceh dan DPR Aceh, Darwis berharap bisa memajukan Aceh. “Pertama sekali pemerintah bersih, tidak ada korupsi, dan memikirkan kehidupan rakyat, menghidupkan ekonomi rakyat,” katanya. “Rakyat menyampaikan yang pertama sekali adalah UUPA harus diterapkan secara cepat, dan qanun wali nanggroe. Bukankah kita konflik dulu dengan pemerintah pusat disebabkan menuntut keadilan bagi rakyat Aceh?”
Tentu saja, Darwis ingin para mantan kombatan juga diperhatikan. “Bagaimana mereka bisa hidup dengan ekonomi yang baik. Kan ada mantan-mantan yang bekerja di nelayan kita bantu secara nelayan, ada yang di tengah kota bagaimana cara kita bantu untuk berdagang, begitu juga yang berkebun dan bertani,” kata Darwis.
Darwis berpesan, “Mari kita jaga bersama perdamaian, jangan kita hancurkan perdamaian ini!”
http://atjehpost.com