Selasa, 18 September 2012

Untuk Siapa Republik Ini Dibentuk ?

Begitu menarik diskusi hari ini, diskusi lepas dan “bervitamin” mengenai untuk siapa sebenarnya Republik Indonesia dibentuk oleh founding fathers ? Semua itu berawal dari artikel cendekiawan muda Indonesia - Anies Baswedan - “Ini Soal Tenun Kebangsaan. Titik !” yang dipublish di Harian Kompas (11/9/2012). Sebagian dari artikel tersebut saya jadikan bahan diskusi di facebook saya (Muhammad Ilham Fadli) hari ini ………. dan diskusi-pun mengalir dengan hangat. Berikut penggalan artikel-nya :
Sumber Foto : INTI
Republik ini tidak dirancang untuk melindungi minoritas. Tidak juga untuk melindungi mayoritas. Republik ini dirancang untuk melindungi setiap warga negara, melindungi setiap anak bangsa! Tak penting jumlahnya, tak penting siapanya. Setiap orang wajib dilindungi. Janji pertama Republik ini adalah melindungi segenap bangsa Indonesia. Saat ada warga negara yang harus mengungsi di negeri sendiri, bukan karena dihantam bencana alam tapi karena diancam saudara sebangsa, maka Republik ini telah ingkar janji. Akhir-akhir ini nyawa melayang, darah terbuang percuma ditebas oleh saudara sebahasa di negeri kelahirannya. Kekerasan terjadi dan berulang. Lalu berseliweran kata minoritas, mayoritas dimana-mana. Perlindungan minoritas dibahas amat luas.

Bangsa ini harus tegas: berhenti bicara minoritas dan mayoritas dalam urusan kekerasan. Kekerasan ini terjadi bukan soal mayoritas lawan minoritas. Ini soal sekelompok warga negara menyerang warga negara lain. Kelompok demi kelompok warga negara secara kolektif menganiaya sesama anak bangsa. Mereka merobek tenun kebangsaan ! Tenun Kebangsaan itu dirobek dengan diiringi berbagai macam pekikan seakan boleh dan benar. Kesemuanya terjadi secara amat eksplisit, terbuka dan brutal. Apa sikap negara dan bangsa ini? Diam? Membiarkan? Tidak! Republik ini tidak pantas loyo-lunglai menghadapi warga negara yang pilih pakai pisau, pentungan, parang bahkan pistol untuk ekspresikan perasaan, keyakinan, dan pikirannya. Mereka bukan sekadar melanggar hukum tapi merontokkan ikatan kebangsaan yang dibangun amat lama dan amat serius ini. Mereka bukan cuma kriminal, mereka perobek tenun kebangsaan. Tenun Kebangsaan itu dirajut dengan amat berat dan penuh keberanian. Para pendiri republik sadar bahwa bangsa di Nusantara ini amat bhineka. Kebhinekaan bukan barang baru. Sejak negara ini belum lahir semua sudah paham. Kebhinekaan di Nusantara adalah fakta, bukan masalah !

Tenun kebangsaan ini dirajut dari kebhinekaan suku, adat, agama, keyakinan, bahasa, geografis yang sangat unik. Setiap benang membawa warna sendiri. Persimpulannya yang erat menghasilkan kekuatan. Perajutan tenun inipun belum selesai. Ada proses yang terus menerus. Ada dialog dan tawar-menawar antar unsur yang berjalan amat dinamis di tiap era. Setiap keseimbangan di suatu era bisa berubah pada masa berikutnya. Dalam beberapa kekerasan belakangan ini, salah satu sumber masalah adalah kegagalan membedakan “warga negara” dan “penganut sebuah agama”. Perbedaan aliran atau keyakinan tidak dimulai bulan lalu. Usia perbedaannya sudah ratusan -bahkan ribuan- tahun dan ada di seluruh dunia. Perbedaan ini masih berlangsung terus, dan belum ada tanda akan selesai minggu depan. Jadi, di satu sisi, negara tidak perlu berpretensi akan menyelesaikan perbedaan alirannya. Di sisi lain, aliran atau keyakinan bisa saja berbeda tapi semua adalah warga negara republik yang sama. Konsekuensinya, seluruh tindakan mereka dibatasi oleh aturan dan hukum republik yang sama. Di sini negara bisa berperan. Negara memang tidak bisa mengatur perasaan, pikiran, ataupun keyakinan warganya. Tetapi negara sangat bisa mengatur cara mengekspresikannya. Jadi dialog antar pemikiran, aliran atau keyakinan setajam apapun boleh, begitu berubah jadi kekerasan maka pelakunya berhadapan dengan negara dan hukumnya.

Negara jangan mencampuradukkan friksi/konflik antar penganut aliran/keyakinan dengan friksi/konflik antar warga senegara. Dalam menegakkan hukum, negara harus selalu melihat semua pihak semata-mata sebagai warga negara dan hanya berpihak pada aturan di republik ini. Apalagi aparat keamanan, ia harus hadir untuk melindungi “warga-negara” bukan melindungi “pengikut” keyakinan/ajaran tertentu. Begitu pula jika ada kekerasan, maka aparat hadir untuk menangkap “warga-negara” pelaku kekerasan, bukan menangkap “pengikut” keyakinan yang melakukan kekerasan. Pencampuradukan ini salah satu sumber masalah yg harus diurai secara jernih dan dingin. Menjaga tenun kebangsaan dengan membangun semangat saling menghormati serta toleransi itu baik dan perlu. Disini pendidikan berperan penting. Tetapi itu semua tak cukup, dan takkan pernah cukup. Menjaga tenun kebangsaan itu juga dengan menjerakan setiap perobeknya. Ada saja manusia yang datang untuk merobek. Bangsa dan negara ini boleh pilih: menyerah atau “bertarung” menghadapi para perobek itu.  Jangan bangsa ini dan pengurus negaranya mempermalukan diri sendiri di hadapan penulis sejarah, bahwa bangsa ini gagah mempesona saat mendirikan negara bhineka tapi lunglai saat mempertahankan negara bhineka.

Membiarkan kekerasan adalah pesan paling eksplisit dari negara bahwa kekerasan itu boleh, wajar, dipahami, dan dilupakan. Ingat, kekerasan itu menular. Dan, pembiaran adalah resep paling mujarab agar kekerasan ditiru dan meluas. Pembiaran juga berbahaya karena tiap robekan di tenun kebangsaan ini efeknya amat lama. Menyulam kembali tenun yang robek, hampir pasti tidak bisa memulihkannya. Tenun yg robek selalu ada bekas, selalu ada cacat. Ada seribu satu pelanggaraan hukum di republik ini, tapi gejala merebaknya kekerasan dan perobekan tenun kebangsaan itu harus jadi prioritas utama untuk dibereskan. Untuk mensejahterakan bangsa semua orang boleh “turun-tangan”, tapi untuk menegakkan hukum hanya aparat yang boleh “turun-tangan”. Jadi saat penegak hukum dibekali senjata itu tujuannya bukan untuk tampil gagah saat upacara, tapi untuk dipakai saat melindungi warga negara, saat menegakkan hukum. Negara harus berani dan menang “bertarung” melawan para perobek itu. Bahkan saat tenun kebangsaan terancam itulah negara harus membuktikan di Republik ini ada kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat tapi tidak ada kebebasan untuk melakukan kekerasan. Aturan hukumnya ada, aparat penegaknya komplit. Jadi begitu ada warga negara yang pilih untuk  melanggar dan meremehkan aturan hukum untuk merobek tenun kebangsaan, maka sikap negara hanya ada satu: ganjar mereka dengan hukuman yang amat menjerakan. Bukan cuma tokoh-tokohnya saja yang dihukum. Setiap gelintir orang yang terlibat harus dihukum tanpa pandang agama, etnis, atau partai. Itu sebagai pesan pada semua: jangan pernah coba-coba merobek tenun kebangsaan!. Ketegasan dalam menjerakan perobek tenun kebangsaan membuat setiap orang sadar bahwa memilih kekerasan adalah sama dengan memilih untuk diganjar dengan hukuman yang menjerakan. Ada kepastian konsekuensi. Ingat, Republik ini didirikan oleh para pemberani: berani dirikan Negara yang bhineka. Kita bangga dengan mereka. Kini pengurus negara diuji. Punyakah keberanian untuk menjaga dan merawat kebhinekaan itu secara tanpa syarat? Biarkan kita semua -dan kelak anak cucu kita- bangga bahwa Republik ini tetap dirawat oleh para pemberani.
Sebagai pembanding, saya juga “menghadirkan”  artikel saya yang pernah di publish di sebuah harian lokal tahun lalu tentang “Nasib Kelompok Mayoritas yang Selalu Dicurigai“, berikut :
Ibarat kue lapis yang berlapis-lapis, maka proses kedatangan Islam di Indonesia juga berlapis-lapis. Pada lapisan pertama, Islam “datang” melalui pedagang-pedagang. Sedangkan pada lapisan kedua, ditandai adanya sebuah eksistensi politis yang bernama kerajaan seperti di Sumatera Utara - Aceh. Pada lapisan ketiga, perkembangan Islam demikian cepat sebagai bentuk kompetisi dengan Kristen. Sejarah “sepakat” dalam lapisan ketiga ini, persaingan ini dimenangkan oleh Islam. Dalam lapisan ini VOC (Vereeniging de Oost Companig) yang diistilahkan sebagai “negara berjalan” itu ada dan mendirikan Hindia Belanda. Tapi daerah-daerah pinggiran pantai tetap berada dalam kekuasaan orang Islam. 
Peristiwa demi peristiwa dalam lapisan ketiga ini, tidak bisa dilupakan oleh orang Kristen. Pada lapisan ini pula, usaha Kristenisasi di daerah Jawa dan Indonesia Timur berjalan dengan massif. Persaingan tak terhindarkan. Setidaknya demikian yang terlihat dari berbagai konflik dan perlawanan rakyat daerah vis a vis VOC yang terjadi, nuansa menghadapkan Islam dan Kristen tak terhindarkan.
Sejak lapisan ketiga ini, persaingan terus berlanjut. Dalam masa pergerakan, muncul perdebatan-perdebatan tentang bentuk ideal sebuah negara yang di”imajinasi”kan. Sebagian (mayoritas) berkeinginan mendirikan negara diatas landasan Islam republik, padasisi lain menginginkan bentuk negara nasional. Sejarah kemudian mencatat, bagaimana ini terefleksi dari perdebatan-perdebatan monumental antara Soekarno dengan Mohammad Natsir. Perdebatan yang bersumbu pada Mukaddimah UUD atau biasa dikenal dengan Piagam Jakarta. Piagam Jakarta yang hingga hari ini begitu disesali sebagian ummat Islam Indonesia. Penyesalan terhadap sebuah - dalam bahasa Taufik Abdullah (1999) - kompromi antara negara nasionalis dengan moral religius yang tertulis dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Tak bisa dipungkiri, kompromi ini merupakan bentuk “ketakutan” sebagian kalangan akan Islam politik.
Dalam perkembangan sejarah berikutnya, beberapa gerakan perlawanan terhadap entitas sah negara-bangsa Indonesia terjadi satu per satu. Darul Islam-nya Kartosuwiryo berdiri di Jawa Barat. Kehadiran Darul Islam, sebagaimana yang ditulis Al-Chaidar (2002), menimbulkan mitos bahwa seolah-olah Islam di Indonesia adalah entitas yang menakutkan dan militan. Sebuah generalisasi yang pada hakikatnya terus berkembang hingga masa kini. Padahal Islam di Indonesiaitu tidaklah monolitik. Islam di Indonesia itu bukan hanya tipikal Darul Islam dengan NII-nya itu saja. Islam di Indonesia ada Nahdlatul Ulama, ada Muhammadiyah, ada Perti dan seterusnya. Ketakutan akan militansi Islam ini terus ter/dijaga. Seluruh idiom ataupun labelisasi yang berkaitan dengan Islam di Indonesia, selalu dipandang dengan “curiga”. Lihatlah ketika istilah “Kebangkitan Islam” diperkenalkan. Istilah ini juga dilihat sebagai gerakan yang perlu dicurigai, setidaknya demikian yang terasa di akhir rezim Orde Baru. Padahal gerakan kebangkitan Islam ini, merupakan gerakan internasional. Tapi, tetap saja sebagian kalangan merasa takut, terutama dari entitas Kristen Indonesia.
Sejak lapisan ketiga hingga terus terbentuknya republik ini, ketakutan akan Islam politik terus terbina. Pada masa Orde Baru, “cita rasa”nya terasa dengan kental. Orde Baru dipenuhi oleh jargon-jargon politis yang ingin menyampaikan kepada publik bahwa Islam politik pantas untuk “dicurigai”. Jargon kanan untuk memetakan Islam, sementara jargon kiri untuk PKI. Bagaimanapun juga, jargon ini merupakan salah satu bentuk grand designkelompok-kelompok non-Islam yang mencurigai kebangkitan Islam politik. Militansi beberapa kelompok Islam masa Orde Lama dijadikan sebagai landasan historis untuk pembenaran, tanpa melihat bahwa entitas Islam Indonesia bukan hanya kelompok garis keras itu saja. Di saat-sata akhir kekuasaan Soeharto, jargon baru dalam ranah politik Indonesia - ijo royo-royo. Refleksi mendekatnya Soeharto dengan Islam, dalam bahasa Emha Ainun Nadjid, religiusitas politik Soeharto. Kondisi ini membuat kelompok Kristen menjadi takut, seakan-akan Islam bagian dari establishment yang otoriter.
 
Sejarawan Taufik Abdullah suatu ketika pernah menyatakan bahwa itulah nasib dari orang yang mayoritas. Walau berwajah baik, selalu dicurigai. Orang Jawa yang secara demografis dan politis lebih mayoritas, selalu di ejek oleh orang luar Jawa dan seterusnya. Padahal, kata Taufik Abdullah, kalau orang itu sadar dengan keminoritasannya, tentu mereka tidaklah perlu takut pada mayoritas. Dalam ranah psikologi dikenal istilah inferiorityof minority. Ketakutan akan Islam politik lebih disebabkan pada perasaan kurang percaya diri kelompok minoritas. Karena itu, kata kunci yang perlu ditumbuhkembangkan adalah minoritas yang percaya diri, mereka tidak akan takut terhadap mayoritas. Kalangan minoritas Indonesia tidak akan mencurigai Islam politik. Walau gerakan-gerakan Islam garis keras mulai “menaik” di Indonesia pasca Orde Baru, usaha-usaha penghilangan kesan Islam yang “menakutkan”, rasanya tidak perlu. Makin diusahakan, akan makin dicurigai. Samalah dengan infotainment, semakin artis tersebut diperbincangkan, mungkin artis itu akan semakin populer dan dicurigai. Biarlah berjalan dengan alamiah.
Persoalannya bukan terletak pada golongan mayoritas, tapi pada golongan minoritas. Islam itu biasa-biasa saja, apalagi Islam di Indonesia yang tidak monolitik. Coba lihat, bagaimana sikap politik antara orang NU dengan Muhammadiyah, antara Al-Washliyah dengan Perti - mereka tidak akan pernah sama. NU dibawah kepemimpinan Gus Dur dan Said Agil Siradj saja, berbeda dalam menyikapi gaya politik SBY. Analisis saja, Muhammadiyah di bawah Dien Syamsuddin dengan Muhammadiyah di bawah Syafii Ma’arif mensikapi perkembangan politik Indonesia, pasti beda. Tapi itu tadi, setiap orang Islam membicarakan masalah politik, selalu merasa menakutkan. Padahal, sebagaimana yang diungkapkan group hip hop Saykoji, “Islam itu indah, Islam itu ramah.Wallahu ‘alam bis shawab !.
http://ilhamfadli.blogspot.com/
http://politik.kompasiana.com/2012/09/18/untuk-siapa-republik-ini-dibentuk/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar